Pancasila Pada Era Orde Lama
Pancasila Pada Era Orde Lama
Terdapat
dua pandangan besar terhadap Dasar Negara yang berpengaruh terhadap munculnya
Dekrit Presiden. Pandangan tersebut yaitu mereka yang memenuhi “anjuran”
Presiden/ Pemerintah untuk “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945” dengan Pancasila
sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara. Sedangkan
pihak lainnya menyetujui ‘kembali ke Undang-Undang Dasar 1945”, tanpa cadangan,
artinya dengan Pancasila seperti yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar yang disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Dasar Negara. Namun, kedua
usulan tersebut tidak mencapai kuorum keputusan sidang konstituante (Anshari,
1981: 99). Majelis (baca: konstituante) ini menemui jalan buntu pada bulan Juni
1959. Kejadian ini menyebabkan Presiden Soekarno turun tangan dengan sebuah
Dekrit Presiden yang disetujui oleh kabinet tanggal 3 Juli 1959, yang kemudian
dirumuskan di Istana Bogor pada tanggal 4 Juli 1959 dan diumumkan secara resmi
oleh presiden pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 di depan Istana Merdeka (Anshari,
1981: 99-100). Dekrit Presiden tersebut berisi:
1. Pembubaran konstituante;
2. Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku; dan
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara.
Sosialisasi terhadap paham Pancasila yang konklusif menjadi prelude penting
bagi upaya selanjutnya; Pancasila dijadikan “ideologi negara” yang tampil
hegemonik. Ikhtiar tersebut tercapai ketika Ir. Soekarno memberi tafsir Pancasila
sebagai satu kesatuan paham dalam doktrin “Manipol/USDEK”. Manifesto politik
(manipol) adalah materi pokok dari pidato Soekarno tanggal 17 Agustus 1959
berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang kemudian ditetapkan oleh Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Belakangan,
materi pidato tersebut dikukuhkan dalam Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1
tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS1960 tentang GBHN (Ali, 2009: 30).
Manifesto politik Republik Indonesia tersebut merupakan hasil perumusan suatu
panitia yang dipimpin oleh D.N. Aidit yang disetujui oleh DPA pada tanggal 30 September
1959 sebagai haluan negara (Ismaun, 1978: 105).
Oleh karena itu, mereka yang berseberangan paham memilih taktik
“gerilya” di dalam kekuasaan Ir. Soekarno. Mereka menggunakan jargon-jargon Ir.
Soekarno dengan agenda yang berbeda. Taktik demikian digunakan oleh sebagian
besar kekuatan politik. Tidak hanya PKI, mereka yang anti komunisme pun sama
(Ali, 2009: 33). Walaupun kepentingan politik mereka berbeda, kedua arus
tersebut sama-sama menggunakan Pancasila sebagai justifikasi. Ir. Soekarno
menghendaki persatuan di antara beragam golongan dan ideologi termasuk komunis,
di bawah satu payung besar, bernama Pancasila (doktrin Manipol/USDEK),
sementara golongan antikomunis mengkonsolidasi diri sebagai kekuatan berpaham
Pancasila yang lebih “murni” dengan menyingkirkan paham komunisme yang tidak
ber-Tuhan (ateisme) (Ali, 2009: 34). Dengan adanya pertentangan yang sangat
kuat ditambah carut marutnya perpolitikan saat itu, maka Ir. Soekarno pun
dilengserkan sebagai Presiden Indonesia, melalui sidang MPRS.
Ditulis oleh : Dr. Syahrial Syarbaini, MA